here I am

#Sponsor Link Tilter
#Sponsor Link Tilter

“Jadi kita sama-sama setuju, ya Mas?” ucap Om Darmono pada Bapakku.
“Iya, tanggal 25 Januari ya? Iya tho, Pram?” sahut Bapak padaku dan membuyarkan lamunanku. Tak ada komando untuk mangangguk tapi kepalaku sudah terlanjur menunduk.

Bingung dan ragu-ragu. Begitulah suasana hatiku sejak menerima telepon dari bapak. Tiba-tiba bapak memintaku pulang ke Solo tanpa memberikan alasan yang jelas. Beliau hanya bilang agar aku segera pulang, ada yang penting katanya. Aku ragu untuk menuruti permintaan bapak. Tapi keraguan itu hanya mengiring saja tanpa memberi pengaruh. Toh pada lusa harinya aku sudah duduk diatas kereta dari stasiun Gambir menuju Solo. Tentunya setelah aku mengurus ijin dari tempat kerja serta menyelesaikan beberapa urusan yang lain. Meyakinkan semuanya bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan di Solo dan aku tak akan lama. Ditemani bingung dan keraguan aku berusaha menikmati perjalananku. Perkampungan kumuh di tepi rel, sawah-sawah yang kering, menjadi santapan mataku.

Hingga detik ini, ketika sebuah hari telah ditentukan oleh Bapak dan Ibu dengan Om Darmono dan Bulik Siti keraguan itu masih menggelayut di hatiku. Mengombang-ambingkanku dalam pilihan. Memilih satu dari dua kata, ya atau tidak. Namun, aku memilih atau tidak keputusan telah dibuat antara Bapak dan Om Darmono. Keputusan yang memaksa aku pulang. Ya, aku diminta pulang adalah untuk dinikahkan. Aku dijodohkan dengan Ningsih, putri bungsu Om Darmono yang juga teman sekolahku saat SMP. Alasannya? Klise, untuk mempererat silaturrahmi kedua keluarga. Aku yakin itu hanya kamuflase saja karena yang sebenarnya adalah Bapak dan Om Darmono itu sama-sama menginginkan besan yang sederajat, yang sama-sama bergelar ningrat.

“Tapi Bapak tidak bisa seperti itu, saya belum siap untuk menikah. Lagi pula kalau saya siap, saya akan memilih sendiri calon istri,” ujarku saat bapak menyampaikan alasannya meminta aku pulang.
“Aaah, itu alasanmu saja. Lha wong selama ini kamu cuma runtang-runtung ndak jelas sama itu, siapa? Perempuan yang kamu bawa kemari saat lebaran kemarin? Asa? Alya?”
”Alsya?” terangku.
”Iya itu. Perempuan yang cuma modal tampang, yang bisanya cuma dandan tanpa bisa ngurus rumah,” cerca bapak sambil mengisap rokok.

Lebaran kemarin aku memang tidak datang sendiri. Aku datang bersama Alsya. Dia teman dekatku, hanya teman dekatku. Bukan pacar karena memang tak ada peresmian hubungan semacam itu. Tapi tidak cukup kalau hanya dibilang teman. Dia baik tidak seperti yang bapak bilang. Dia memang cantik tapi aku yakin dia juga bisa mengurus rumah. Semua itu tercermin dari caranya menata dan merawat ruang kerja di kantor serta caranya mengurus apartemennya. Pun aku mengajaknya karena dia tak ada teman di Jakarta. Keluarganya di Medan.

***
Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh saat aku menyelesaikan ritual pagiku di kamar mandi. Setelah menjemur handuk di teras belakang aku menuju kamarku. Hari ini aku harus menemani Ningsih membeli kain batik dan segala ubo rampe pernikahan. Tidak semuanya hanya yang diperlukan secara pribadi oleh pengantin. Sedangkan yang lainnya sudah ada panitia yang menyiapkan. Saat melewati dapur, kulihat Ibu tengah menyiapkan sarapan.

”Bu, masak apa?” sapaku basa-basi.
”Eh, kamu rupanya. Sudah mandi, le?” tanya ibu terkejut melihatku tiba-tiba ada di belakangnya
”Sudah, Bu.”
”Ya sudah, cepat sarapan. Jangan sampai Ningsih kelamaan nunggu, ndak baik!” ucap beliau sambil mengisi piring di depanku dengan nasi.
”Bu, apa pernikahan ini harus secepat ini? Apa tidak bisa ditunda dua atau tiga bulan lagi?” aku berusaha mencari pembelaan.
”Ya ndak bisa ditunda, lha wong bapakmu sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari rantaman, nyebar undangan, juga menyiapkan ubo rampenya. Ibu sama Bulik Siti juga sudah memesan rias pengantin, yang suwuknya paling manjur. Urusan catering dan among tamu juga sudah siap. Nanggap campursari juga lho, le!” jelas Ibu panjang lebar.

Sudah sejauh itu rupanya persiapan Bapak dan Ibu. Hanya dalam hitungan hari semua telah siap. Tentu itu tak lepas dari pengaruh darah kederajatan Bapak dan Om Darmono. Selain sebagai orang yang berdarah ningrat, Bapak adalah pensiunan wedana dan Om Darmono saat ini sedang menjabat sebagai camat. Sangat kecil kemungkinan ada yang menolak permintaan mereka. Kalau pun ada, Bapak dan Om Darmono tak kehabisan relasi.

”Tapi saya tidak mencintai Ningsih, Bu. Saya dan Ningsih kan hanya berteman,”
”Cinta itu bisa nanti-nanti. Kalau kamu sudah setiap hari sama dia, nanti kamu juga cinta sama Ningsih. Seperti Ibu sama Bapakmu dulu juga begitu,” sanggah Ibu.

Sepertinya memang tak ada lagi yang bisa diharapkan dari Ibu. Beliau sudah sangat setuju dengan perjodohan ini. Aku ingin memberontak tapi aku tetap tak bergerak. Aku merasa ada kekuatan yang menahanku melakukan hal itu. Sambil menyelesaikan makan, aku terus berharap akan muncul kekuatan yang lebih besar yang menghantam kekuatan itu. Melepaskanku dari ayunan bimbang dan keraguan yang tak kuketahui jluntrungannya. Sekarang pun aku ragu, apa aku akan berangkat mengantar Ningsih atau aku akan berpura-pura sakit agar aku tak perlu pergi. Aah, kenapa harus pura-pura sakit? Bagaimana kalau jadi benar-benar sakit? Terbersit dalam benakku untuk menaruh harap pada Ningsih. Berharap bahwa dia berpikiran sama denganku. Berpikir untuk membatalkan semuanya. Ya, semoga harapanku menjadi nyata. Aku akan bergegas untuk mendapat jawabannya.

Pukul sembilan lebih lima menit, ketika aku melirik jam tanganku sebelum akhirnya menatap ke arah gapura setinggi 2,5 meter di hadapanku. Bimbang. Apakah aku akan turun dari mobil dan melangkah mendekat atau memilih menyalakan mesin dan tancap gas. ”Benarkah saat ini aku tengah berada di depan rumah calon mertuaku dan akan pergi bersama calon istriku?” dalam hati aku bertanya. Aku berharap ini adalah mimpi buruk dan aku akan segera bangun untuk mengakhirinya. Aku pun membayangkan bahwa dari balik gapura itu akan muncul monster raksasa mengerikan yang akan memangsaku. Tiba-tiba gapura itu bergerak. Jangan-jangan khayalanku menjadi nyata? Aku bersiap-siap untuk menginjak gas jika benar-benar ada monster yang keluar. Semakin lebar dan semakin lebar gapura itu terbuka. Sesosok wanita separuh baya berbadan mungil melangkah keluar.

”Eh, ada Den Pramana? Kenapa ndak masuk?” ucap wanita itu yang tak lain adalah Mbok Karsiyem, pembantu Ningsih. Dia bekerja sudah lama sekali. Kata Ningsih, dia bekerja sejak Ningsih masih kecil.
”I...iya, Mbok. Ini juga mau masuk.” jawabku tergagap.
”Ya sudah, langsung masuk saja. Non Ningsih sudah menunggu. Mbok mau ke warung dulu.” pamit Mbok Karsiyem.

Hah, dasar pengkhayal! Bergegas aku keluar dari mobil dan melangkah masuk. Keadaan di balik gapura ini hampir tak mengalami perubahan sejak terakhir aku berkunjung kemari yang aku sendiri lupa kapan. Karena sejak aku melanjutkan SMA di Yogyakarta kemudian kuliah dan bekerja di Jakarta, aku hampir kehilangan kontak dengan keluarga ini. Taman di tengah halaman ini juga masih sama seperti dulu. Pada salah satu sudutnya masih ada seekor ayam bekisar dalam kandang, hanya kurasa itu bukan ayam yang dulu. Yang akan berteriak nyaring jika ada orang yang lewat di dekatnya. Rumpun melati masih tumbuh subur di taman maupun di dekat pagar. Melati adalah bunga kesukaan Bulik Siti dan Ningsih.Aku ingat, dulu Ningsih selalu meletakkan satu atau dua kuntum melati di bukunya hingga aroma melati memenuhi tasnya. Di sana, di sudut pekarangan sebelah kanan ada pohon kelengkeng. Buahnya banyak dan manis. Aku sering bermain di bawahnya bahkan sampai ketiduran. Sampai-sampai aku tak menyadari kalau rombongan semut merah menggerayangi badanku. Aku tersenyum mengingat semua itu.

”Assalamu’alaikum...” aku berucap salam.
”Assalamu’alaikum...” kuulang salamku
”Ya, wa’alaikum salam..” sebuah suara terdengar menyahut dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu dibuka.
“Pramana? Masuk!” sesosok wanita berusia 25 tahun berdiri di depanku. Ningsih.

Aku sempat tertegun melihat Ningsih. Penampilannya mengalami perubahan cukup drastis. Dulu rambutnya tak lebih dari sebahu kini tergerai panjang menyentuh pinggang. Ooh, Ningsih! Kamu terlihat cantik dan dewasa dengan make up tipis dan . beberapa bintil jerawat itu membuatku gemas dan ingin mencubit pipimu seperti dulu, pikirku. Saat aku berjalan mengikutinya masuk, tertinggal jejak aroma wangi dari tubuhnya. Hmm, aku menghirup dalam-dalam menikmatinya.

“Kamu ingin minum dulu atau..?” tanya Ningsih
”Bagamana kalau kita langsung berangkat, kalau siang nanti panas?” aku balik bertanya menawarkan pertimbangan.
”Baiklah, aku ambil tas dulu.” ucapnya seraya berlalu.

Aku menatap Ningsih yang melangkah menaiki tangga. Langkahnya begitu anggun dan kharismatik. Stelan rok batik lilit dengan kemeja polos menjadi bumbunya. Padahal dulu Ningsih begitu tomboy dan manja. Jangankan untuk bersikap anggun dalam balutan rok, untuk bersikap lebih halus layaknya perempuan saja sulit.

”Ayo, Pram!” ajaknya mengagetkanku. Aku pun berjalan mengikutinya.
”Kita kemana?”
”Ke Laweyan, beli batik untuk sarimbit sama kain sprei,”

Ku bukakan pintu mobil untuk Ningsih. Dia tersenyum dan berucap terima kasih. Mengarahkan mobil ke arah Kampung batik Laweyan.

”Selamat datang!” sambut seorang pramuniaga.
“Mbak, kami mau melihat-lihat batik sarimbit. Di sebelah mana ya?” tanya Ningsih
“Mari saya antar,”

Aku dan Ningsih mengikuti wanita pramuniaga itu. Kami diantar ke sebelah kanan ruangan. Ada bertumpuk-tumpuk kain batik untuk sarimbit dengan berbagai ukuran dan corak.

“Silahkan, mau pilih yang mana?” tawar pramuniaga.
”Aduh, banyak sekali pilihannya. Pram, kamu pilih yang mana?”
”Pram?” panggil Ningsih sambil menepuk pundakku.
“Eh, i…iya..aku..”
“Kamu kenapa sih? Tadi di mobil ngelamun, sekarang pun pikiranmu entah kemana,” tanya Ningsih sambil melengos pergi.
”Maaf, Ning, Aku cuma sedikit nggak enak badan. Kamu aja yang pilih, aku ikut.”

Dari Laweyan aku dan Ningsih berniat mencari rumah makan di jalan Slamet Riyadi. Jalanan sudah padat dan pengap meskipun tidak macet. Solo, The Spirit of Java. Solo, kota budaya. Solo, apakah benar seperti julukannya? Aku lebih senang menyebut Solo sebagai kota belanja karena Solo memiliki banyak pasar tradisonal. Ada pasar Klewer, ada pasar Gedhe, ada pasar Legi, dan lainnya. Dahulu jalan-jalan di kota Solo ini di dominasi oleh pengguna sepeda onthel tapi sekarang entah bagaimana kabarnya. Di kanan-kiri jalan penuh dengan banguna pertokoan. Lo Djie-Lo Djie yang dulu pernah berdiri sudah berubah wajah. Memang masih ada beberapa Lo Djie yang berdiri tapi itu pun sudah tak terurus.

Di depan sebuah rumah makan aku hentikan mobil. Rumah makan dengan aksen jawa, lesehan. Instrumental music jawa mengalun. Berpadu dengan hawa sejuk di sekitar tempat ini. Seorang pelayan menyodorkan daftar menu.

”Kamu makan apa?” tanyaku mencairkan suasana.
”Mmm, aku nasi timlo saja. Minumnya orange juice,”
”Nasi timlo satu, nasi rames satu, terus orange juicenya dua.” aku mendiktekan menu pada pelayan. Segera pelayan itu berlalu memenuhi pesanan kami.
”Kamu sakit ya, Pram? Dari tadi diam saja.”
”Nggak apa-apa. Mungkin karena masih capek saja.” jawabku berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.

Aku bingung. Langkahku sudah sejauh ini. Apa iya aku akan membatalkan semuanya? Bagaimana dengan Ningsih? Haruskan aku tanyakan padanya? Apa perlu aku membujuknya untuk membatalkan semuanya? Tiba-tiba ponselku berdering. Alsya, nama yang tertera pada layarnya. Sudah beberapa kali dia menghubungi selama aku di Solo. Sayangnya, dia selalu menghubungi di waktu yang kurang tepat, waktu ketika aku sedang bersama Bapak atau Om Darmono. Ketika aku berusaha menghubungi kembali, ponselnya tidak aktif. Mungkin urusan pekerjaan saja.

”Kenapa nggak diterima?” selidik Ningsih
”Iya, ini aku mau terima. Sebentar ya!” aku menjauh sejenak. Sedikit menjauh dari suara music di dalam rumah makan.

”Halo, Sya! Ada apa?”
”Pram, kamu kapan balik Jakarta?” tanya Alsya di seberang sana.
”Mungkin minggu depan. Kenapa?”
”Apa tak bisa dipercepat? Memangnya ada apa di Solo?”
”Aku...” tenggorokanku seperti tercekat. Aku ragu untuk menyampaikannya. Aku belum siap menghadapi reaksi Alsya dan teman-teman yang di Jakarta.
”Praam, ini keburu dingin.” kata Ningsih setengah berteriak.
“Sudah dulu ya, Sya? Nanti aku hubungi lagi.” ucapku mengakhiri pembicaraan.

Bergegas aku menuju mejaku. Duduk menghadapi sepiring nasi rames dan segelas orange juice. Kulihat Ningsih sudah mulai menyantap nasi timlonya. Detik terus bergerak. Apakah aku akan membiarkan detik berikutnya seperti ini? Dan terus mengikutinya hingga pernikahan sepihak ini terjadi? Tidak. Sekalipun kemungkinan aku bisa menggagalkannya hanya satu persen, aku akan tetap berharap. Kali ini aku akan mencoba bertindak.

”Ning?” panggilku
”Iya, Pram. Ada apa?”
Apa kamu yakin dengan pernikahan ini?”
”Sebenarnya aku tak yakin,” sahutnya. Ada kelegaan dalam hatiku. Harapanku sedikit bertambak. Kalau nanti bisa kompak aku dan Ningsih, pernikahan ini tak perlu terjadi.
”Tapi aku tak kuasa menolaknya,” lanjut Ningsih.
”Kenapa?”
”Aku ingin berbakti pada orang tuaku. Aku tak ingin dibilang anak durhaka.”
”Tapi Ning, kalau kamu mau, kita berdua bisa menolaknya. Aku juga tidak menginginkannya .” aku terus berusaha mempengaruhi Ningsih agar mau membatalkan pernikahan ini.
”Pram, aku ikhlas menerima permintaan orang tuaku.”

Kalimat terakhir membuatku bungkam. Kamu memang anak yang baik dan penurut, Ning. Kamu bisa berbakti lahir dan batin. Tak sepertiku yang yang hanya menurut secara lahir sedangkan hatiku memberontak dalam kurungan. Tak ada lagi yang bisa ku lakukan. Ningsih sudah menerima kehendak orang tua kami. Kini harapanku hanya pada adanya keajaiban. Berharap Tuhan akan mengerti dan memberikan jalan kegagalan pada rencana pernikahanku.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Ningsih Ratna Hadikusuma binti Darmono Hadikusuma dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!” aku melafalkan kabul di depan penghulu dan sanak saudara.
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya penghulu
”Saahh..” teriak para tamu.
”Sekarang kalian sah sebagai suami istri, semoga kalian menjadi keluarga yang sakinnah, mawaddah, warrohmah.” ucap penghulu sebelum menutup acara ijabkabul.

Ku ulurkan tanganku pada Ningsih. Mendadak hatiku luruh saat aku beradu pandang dengan tatapannya yang teduh. Apalagi saat dia menciumkan tanganku di keningnya, entah dari mana dan bagaimana tiba-tiba hatiku menggumamkan janji akan menjaga dan menyayanginya. Mungkinkah saat ini cinta tengah tumbuh di antara aku dan Ningsih? Aku hampir menitikkan air mata saat menerima sorot keikhlasan dan ketulusan darinya. Kami lalu sungkem pada keempat orang tua kami. Lalu menerima uluran selamat dari pada kerabat. Saat tengah asyik beramah-tamah dengan para kerabat, ponselku berdering. Sebuah pesan singkat datang. Aku segera membukanya,

Pram, aku hamil!!!

Alsya

4 comments:

  1. Anonim says:

    good job dewi, endingnya menghentak, walaupun di bagian bagian depan nampak sedikit kerepotan dengan adegan yang tidak terlalu menari (terutama di bagian belanja)bisa kubayangkan saat kamu membuat adegan itu, yakin itu yg meleber wkwkwkw

    tapi, menyentakk abis endingnya/

  2. Anonim says:

    lagi satu, judulnya ga pas oee

  3. Anonim says:

    ya, disitulah melubernya. yang benar-benar memusingkanku.ahakhakhakhak

  4. Anonim says:

    udah diganti tuh